Powered By Blogger

Rabu, 09 November 2011

tasawuf ( Fana' dan Baqo')


KATA PENGANTAR

Segala Puji hanya bagi Allah SWT. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan atas Rasulullah SAW, keluarga serta sahabat yang menyeru dengan seruannya serta berpedoman dengan petunjuknya.
Makalah yang memuat tentang Al-Baqa’ dalam Tasawwuf. Serta kami susun dengan redaksi yang mudah  dan gaya bahasa yang sederhana serta sistematika yang sesuai dengan kemampuan kami.
Dan pada akhirnya, kami memohon maaf atas segala kesalahan yang ada pada redaksi, dan semoga Allah memberikan kemanfaatan atas ditulisnya makalah ini dan melimpahkan pertolongan dan kebenaran kepada kita semua. Amin


Surabaya, 09 Mei 2011



                                                                                           Penulis










DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………...1
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………….3
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………3
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………..3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Fana’ dan Baqa’…………………………………………………….4
2.2 Konsep Fana’ dan Baqa’ menurut beberapa tokoh…………………………….4
2.3 Faham antara Fana’ seiring dengan Baqa’……………………………………..7
2.4 Fana’ dan Baqa’ menurut pandangan Al-Qur’an……………………………….7
2.5 Tujuan dan Kedudukan Fana’ dan Baqa’………………………………………8
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….9
3.2 Saran……………………………………………………………………………9
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..10
BAB I
 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam tasawuf, digunakan pendekatan suprarasional yaitu dengan intuisi /wijdan. Intuisi disini maksudnya adalah mengosongkan diri dari dosa. Ditinjau dari paradigma pengalamannya, tasawuf terbagi menjadi tasawuf Salaf, tasawuf Suni, dan tasawuf Falsafi. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Fana dan Baqa yang merupakan salah satu komponen dari tasawuf Suni. Setelah melalui maqam Fana dan Baqa maka Sufi akan menemui maqamma’rifat.
Fana’ umumnya di indikasikan sebagai lepasnya sifat tercela, sedangkan Baqa’, yaitu mereka menunjukkan pemeliharaan sifat terpuji. Sang hamba, “ tanpa pengecualian”, tidak pernah bebas dari dua kategori ini. Ketika seseorang fana’ dari watak tercelanya, watak terpuji muncul dalam dirinya. Ketika sifat tercela disingkapkan atasnya, ia terhijab dari sifat-sifat yang terpuji. Diantara Fana’ dengan Baqa’ ini tidak dapat dipisahkan, karena terdapat kesinambungan antara keduanya.  
1.2 Rumusan Masalah
§  Pengertian Fana dan Baqa
§  Konsep Fana dan Baqa menurut beberapa tokoh
§  Faham antara Fana seiring dengan Baqa
§  Tujuan dan kedudukan Fana serta Baqa
§  Tokoh yang mengembangkan Fana dan Baqa
§  Fana dan Baqa dalam pandangan al-Qur’an

1.3 Tujuan

§  Agar mahasiswa mengetahui pengertian Baqa’ dalam Tasawwuf
§  Agar mahasiswa mengetahui kesinambungan antara Fana’ dan Baqa’ dalam ilmu Tasawwuf 

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Baqa’
Kata baqa’ (البقا۽) artinya tetap, terus hidup. Dalam bahasa inggris : To remain, persevere bahwa baqa’ adalah sifat yang mengiringi dari proses fana’ dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifat. Sementara itu baqa’ berarti: a) baqa’ dalam keselarasan, b) baqa’ dalam kesenangan kehidupan di akhirat kelak, c) baqa’ dalam kesenangan Allah, d) baqa’ dalam sifat-sifat terpuji, e) kehadiran Allah. Telah diketahui pada bab di muka bahwa ma’rifat adalah tingkat yang tinggi untuk bias dekat dengan Allah, namun untuk ketingkat dimana seorang sufi dapat melihat Tuhan pada lubuk hati sanubarinya tidak mudah. Semakin tinggi ma’rifat seseorang maka semakin dekat ia dengan Tuhan,  yang akhirnya bersatu dengan Tuhan. Namun untuk mencapai ma’rifat seorang sufi harus bias menghancurkan diri terlebih dulu. Proses penghancuran diri inilah di dalam tasawuf disebut “fana” yang diiringi oleh “baqa’”. Sebagai akibat dari fana’ adalah baqa’.
Secara harfiah baqa’ berarti kekal, sedangkan menurut para sufi baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya ( fana’) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana’ dan baqa’ datang beriringan.
2.2 Konsep Fana dan Baqa menurut beberapa tokoh 
1)      Al-Qusyairi: Fana adalah gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan Baqa adalah berdirinya sifat-sifat terpuji.
2)      Junaid al-Baghdadi: Tauhid bisa dicapai dengan membuat diri Fana dari dirinya sendiri dan alam sekitarnya, sehingga keinginannya dikendalikan oleh Allah.
3)      Ibn ‘Arabi: Fana dalam pengertian mistik adalah hilangnya ketidaktahuan dan Baqa pengetahuan yang pasti/ sejati yang diperoleh dengan intuisi mengenai kesatuan esensial dari keseluruhan ini. 
4)      E. A. Affifi: Pemikiran tentang Fana dan Baqa dapat dibagi ke dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:
a.       Si Sufi menjauhkan dirinya dari dosa (al-Fana’ ‘an al-Ma’asi)
b.      Memfana’kan dirinya dari semua perbuatan (af’al) apapun, iahanya menyadari bahwa Tuhan sendirilah satu-satunya pelakusegala perbuatan (af’al) di alam ini.
c.       Memfana’kan dirinya dari sifat-sifat dan kulitas wujud yangbersifat mungkin, sebab semuanya merupakan kepunyaanAllah.
d.      Memfana’kan personalitas atau dzat dirinya sendiri, iamenyadari dengan sungguh-sungguh ketidakberadaan (non-eksistensi) dari fenomena dirinya serta baqa di dalamsubstansi yang tidak berubah dan tidak hancur yangmerupakaan esensinya.
e.       Si Sufi melepaskan semua sifat-sifat Tuhan sertahubungannya, yaitu ia lebih memandang Tuhan sebagaiesensi dari alam ini daripada sebagai sebab, sebagaimanapendapat para filosof. Maksudnya Si Sufi tidak menganggapalam ini sebagai akibat dari satu sebab, melainkan sebagaisuatu realitas dalam pemunculan Tuhan (Al-Haqq fid dzuhur).
Pada tahap kelima inilah sebagai tujuan akhir dari semua upaya para sufi di dalam latihan mistik wahdatul wujud, yakni berupa kesadaran penuh terhadap esensi dari semua yang ada, dan sekaligus sebagai pelaksanaan fana dan baqa.[1]
5)   Muhammad Nafis
Maqam Fana adalah musyahadah secara bertahap dari maqam ke maqam selanjutnya, sebagai berikut:
a.       Maqam Tauhid al-Af’al
b.      Maqam Tauhid al-Asma’
c.       Maqam Tauhid al-Shifat
d.      Maqam Tauhid al-Dzat
Kemudian Muhammad Nafis menjelaskan bahwa maqam Baqa lebih tinggi dari maqam Fana. Maqam Fana sirna di bawah Ahadiyat Allah,sedangkan maqam Baqa kekal dengan Wahdiyat allah. Dengan katalain, maqam Fana itu memandang bahwa yang maujud (ada) hanyaAllah, sedangkan maqam Baqa memandang ke-Dia-an Allah dankemandirian-Nya meliputi segala yang ada (zarrat al-wujud). Ia menyebut maqam Baqa sebagai maqamtajalli ataudhuhur.
Dengan harmonis dia padukan pandangan wahdat al-Syuhud dengan wahdat al-Wujud, yaitu memandang alam semesta yang serba majemuk ini sebagai penampakan dari wujud Tuhan. Fana dan Baqa melalui proses yang berasal dari ma’rifat dapat menyampaikan pada Kasyaf, yakni terbukanya hakikat sesuatu bagi sufi, kasyaf dapat menyampaikan Fana. Fana menyampaikan pada Fana al-Fana, yaitu Sufi tidak melihat dan tidak merasakan bahwa dia sendiri yang memfana’kan dirinya, yang dia lihat dan rasakan adalah Allah yang memfana’kan dirinya. Dan Fana al-Fana inilah yang mengantarkan ketingkat Baqa.[2]
6)   R. A. Nicholson dalam bukunya The Mystics of Islam
Ia mengatakan tentang tiga tingkat Fana yaitu perubahan moral, penghayatan jiwa, dan lenyapnya kesadaran. Dalam hal ini, Imam al-Ghazali yang membatasi sampai ke Fana tingkat dua, masih mempertahankan adanya perbedaan yang fundamental antara hamba yang melihat dengan Tuhan yang dilihatnya. Sebaliknya Husain bin Mansur al-Hallaj, yang menekankan pencapaian Fana tingkat tiga cenderung ke paham Manunggaling kawula-gusti. Dalam penghayatan ini manusia merasa mengalami sama dan jadi seperti Tuhan itu sendiri. Adapun salah satu jalan untuk mencapai penghayatan Fana fillah (ecstasy) disamping mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran) dengan perantaraan zikir.[3]
7)   Abu Bakar M. Kalabadzi
Keseluruhan (Fana) adalah suatu keadaan yang di dalamnya seluruh hasrat meluruh darinya, sehingga para Sufi tidak mengalami perasaan apapun, dan kehilangan kemampuan membedakan. Dia telah luruh dari segala sesuatu, dan sepenuhnya terserap pada sesuatu yang menyebabkan dia luruh. Baqa mengandung arti bahwa para Sufi itu meluruh dari sesuatu yang menjadi miliknya sendiri, dan tetap tinggal dikarenakan sesuatu yang menjadi milik Tuhan.[4]
8)   Abu Sa’id al-Kharraz
Tanda keluruhan sang Sufi adalah keluruhannya dari hasratnya akan dunia ini dan dunia nanti, kecuali hasratnya akan Tuhan.
9)   Abu al-Qasim Faris
Keluruhan adalah keadaan seseorang yang tidak menyaksikan sifatnya sendiri, tapi menyaksikannya sebagai disembunyikan oleh Dia yangmembuat sifat itu lenyap. Keluruhan sifat manusia jangan ditafsirkan sebagai tidak ada, tetapi tafsirkan bahwa sifat itu tertutup oleh suatu kesenangan yang menggantikan realisasi rasa sakit.[5]

2.3 Faham antara Fana seiring dengan Baqa
Proses penghancuran diri (Fana) rupanya tidak dapat dipisahkan dari Baqa (tetap, terus hidup), maksudnya adalah apabila proses penghilangan sifat manusia dari hasil penghancuran diri manusia itu sendiri, maka yang muncul kemudian adalah sifat yang ada pada manusia. Adapun salah satu paham Sufi yang menyatakan bahwa Fana seiring Baqa “Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, maka yang akan tinggal ialah takwanya”.
Ibnu Qayyim memberikan penjelasan tentang istilah Fana dan Baqa yaitu Fana dalam pengertian tauhid bebarengan (beriringan) dengan Baqa adalah penetapan terhadap Tuhan yang haq dalam hatimu dan menghilangkan Tuhan selain Allah. Disinilah bertemu antara Nafi dan Istbat. Nafi adalah fana dan Istbat adalah baqa.
2.4 Fana dan Baqa dalam pandangan Al-Qur’an
Fana dan Baqa merupakan jalan menuju Tuhan, hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi: Artinya:
Artinya: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Q.S.Al-Kahfi: 110)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah swt. telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniyah atau bathiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk (Fana), meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kemudian ini tercakup dalam konsep Fana dan Baqa, hal ini juga dapat dipahami dari isyarat ayat di bawah ini:
Artinya: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Al-Rahman: 26-27)
 2.5 Tujuan dan kedudukan Fana dan Baqa
Setelah mengetahui pengertian Fana dan Baqa, perlu diketahui tujuan Fana dan Baqa adalah mencapai penyatuan secara ruhaniyah dan bathiniyiah dengan Tuhan sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.
Sedangkan kedudukan Fana dan Baqa merupakan hal, karena hal yang demikian itu terjadi terus menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan dimana seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan Rohani dengan Tuhan). Tatkala Fana dan Baqa berjalan selaras dan sesuai dengan fungsinya maka seorang Sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu.






BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fana’ umumnya di indikasikan sebagai lepasnya sifat tercela, sedangkan Baqa’, yaitu mereka menunjukkan pemeliharaan sifat terpuji. Sang hamba, “ tanpa pengecualian”, tidak pernah bebas dari dua kategori ini. Ketika seseorang fana’ dari watak tercelanya, watak terpuji muncul dalam dirinya. Ketika sifat tercela disingkapkan atasnya, ia terhijab dari sifat-sifat yang terpuji. Diantara Fana’ dengan Baqa’ ini tidak dapat dipisahkan, karena terdapat kesinambungan antara keduanya.  
Proses penghancuran diri (Fana) rupanya tidak dapat dipisahkan dari Baqa (tetap, terus hidup), maksudnya adalah apabila proses penghilangan sifat manusia dari hasil penghancuran diri manusia itu sendiri, maka yang muncul kemudian adalah sifat yang ada pada manusia. Adapun salah satu paham Sufi yang menyatakan bahwa Fana seiring Baqa “Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, maka yang akan tinggal ialah takwanya”.
3.2 Saran
Kita ketahui bahwa dalam pembutan makalah ini masih banyak melakukan kesalahan. Oleh karena itu kami mohon maaf yamg sebesar-besarnya dan kami sebagai insan yang lebih muda patut untuk mendapatkan saran-saran untuk kepentingan hidup kita, terlebih lagi saran agar kita dapat membuat makalah ini lebih baik lagi.




DAFTAR PUSTAKA
Mustofa, HA. 1997. Akhlaq Tasawwuf. Bandung: Pustaka Setia
Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001)
 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, 1996.
Abu Bakr M. Kalabadzi, Menggapai Kecerdasan Sufistik, (Jakarta Selatan: Hikmah, 2002).







[1]Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 144-147.

[2] Ibid, hlm. 149-151
[3] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, 1996, hlm. 105-109.
[4] Abu Bakr M. Kalabadzi, Menggapai Kecerdasan Sufistik, (Jakarta Selatan: Hikmah, 2002), hlm.  35-36.
[5] Ibid, hlm. 39-41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar