Powered By Blogger

Sabtu, 14 Januari 2012

AL- DHORURO TUBIH AL- MAHZURAT


Kondisi dlorurot akan memperbolehkan sesuatu yang semula di larang
Sangat banyak sekali cukupan permasalahan yang dikandung sub-kaidah ini. Namun sebelum menlanjutkan pembahasan pada contoh-contoh kasuistik yang dikandungnya, kiranya perlu ditegaskan bahwa ada tiga hal yang menjadi pengecualiaan kaidah ini, yaitu kufur,membunuh dan berzina. Ketiga perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun. Termasuk kondisi dlorurot. Artinya ketiga hal tersebut dalam kondisi apapun tetap diharamkan. Sementara segala jenis perbuatan yang pada mulanya dilarang- selain ketiga hal di atas boleh dilakukan dalam kondisi dlorurot.sebagian contohnya adalah sebagai berikut. 
1.      Membuka aurat di depan dokter saat pengobatan. Dalam permasalahan ini, membuka aurat yang pada asalnya diharamkan menjadi di perbolehkan mengingat kondisi sakit yang memang mengharuskan aurat. Namun sesuai dengan kadar kebutuhan saat pengobatan saja, tidak lebih. 
2.      Makan atau minum hal-hal yang haram demi menjaga kelangsungan hidup. Dalam kondisi kelaparan, diperbolehkan memakan atau minum barang-barang yang sebenarnya diharamkan, seperti bangkai atau khamr. Bahkan, mencuri barang orang lain pun tidak dipermasalahkan, dengan catatan orang yang kita curi barangnya tidak dalam kondisi yang sama dengan kita (dlorurot atau kritis). Cara mengukur sebatas mana kita dikatakan kritis atau akan menemui ajal, bisa jalan yakin, Zhan (presepsi kuat), atau sekedar asumsi saja.[1]
3.      Pemeimpin yang mempunyai kewenangan membuat undang-undang hukum yang yudisial seharusnya adalah seorang yang mujtahid yang adil. Akan tetapi dalam tataran praktis, ternyata sangat sulit menemukan kreteria pemimpin seperti itu. Pemimpin yang mempunyai sikap seorang negarawan sulitnya bukan main, apabila yang mempunyai kapasitas keilmuan seorang mujtahid. Kebanyakan pemimpin masa kini adalah politik murni. Karena itulah, al- Ghozali dalam Al wasith dan ar –Rafi’I dalam al- Muharrar menandaskan, bila seorang pemimpin belum mencapai derajat mujtahid, akan tetapi ia telah memiliki kewenangan dan legitimasi penuh dari rakyat, maka sebab kondisi demikian telah dianggap dlorurat. Sehingga hal-hal sebelumnya dilarang menjadi boleh dilaksanakan.
4.      Merobohkan bangunan atau salah satu temboknya untuk memadamkan api. Hal ini boleh dilaksanakan pada rumah yang terbakar, sebab kalau tidak dirobohkan  maka apinya bisa menjalar pada rumah-rumah yang lain yang berhimpitan dengan rumah yang terbakar itu.
5.      Mengeluarkan zakat fitrahpada permulaan ramdhan, atau menganti dengan kadar nominal. Hal ini menurut Ibnu Araofah (salah satu seorang ulama’ madzhab Hanafi, dan didukung oleh ulama’ hanafiyah yang lainnya) diperbolehkan menjadi kebutuhan yang mendesak  akan mata uang dari pada bahan makanan. Sementara menerut Syafi’iyah, membayar zakat fitrah sebelum hari raya idhul Fitri diperbolehkan, akan tetapi mengantinya dengan nilai nominal, misalkannya diganti dengan uang, tidak diperbolehkan.
6.      Memakan makanan atau memakai pakaian orang lain dalam kondisi Dlorurat. Hal ini bisa saja terjadi pada orang-orang yang telah bertaubat, tapi ditangannya masih terdapat harta haram milik orang lain, sementara dia sendiri tidak mempunyai harta sedikit pun selain harta milik orang lain itu. Dalam kondisi demikian, mengutip al-dawi al- maliki, ia diperbolehkan memakan sesuai kadar kebutuhan untuk mempertahankan hidup, atau memakai pakain secukupnya untuk menetupi aurat. Sebab pada dedua hal tersebut ia mempunyai hak pada harta pemilik harta tersebut. Artinya, orang yang mempunyai harta tersebut berkewajuban memberi sedikit hartanya untuk membantu orang lain yang sedang kelaparan atau tidak mempunyai pakaian.   


[1] Abdul haq. Formulasi Nalar Fikqk. (Surabaya:khalista). Hal 224